Ini merupakan salah satu naskahku yang malang, (eitss.. dalem banget yawh), maksudnya belum berhasil kepilih wat lolos audisi gitu.. butttttt,, no probeleeemee.. toh apapun hasilnya yang penting usaha to? emang sih, dilihat dari sisi muka-belakang, atas bawah, sampng kiri kanan (kayak benda 3 dimensi aja) cerita ini banyak kekurangannya,, tapi kyu harap this story can amuse whoever read :-)))))
“...Ditambah dengan kebut-kabut tipis pasti view-nya tambah bagus. Beuhh, dijamin
cara gue lebih romantis daripada si Cullen.” Ucap Awan senyam senyum sendiri
sambil memainkan tangannya kesana kemari kaya lagi baca puisi.
Afri
yang dari tadi menjadi pendengar setia akhirnya
angkat bicara juga, “Wan, kalo cara nembak dengan latarnya hutan sih gue
ok-ok aja, tapi yang gua ngerasa ganjil kenapa mesti naik pohon kaya di film Twilight
segala sih? Coba deh mainin logika lo, di film itu mereka makai pengamanan yang
ekstra, nah kalau Lo? Gue berani taruhan, paling
hitungan detik bibir monyong lo
itu bakal nyium tanah.”
Awan
mulai mengambil nafas dalam-dalam dan
siap membalas sanggahan yang dilontarkan Afri ”Fri, di hutan pinus banyak pohon
yang batangnya gede-gede dan mudah untuk dipanjat. Lagian si Lily kan anak
pecinta alam, jadi dia bisa nolongin gue kalo terjadi apa-apa.”
“Itu
namanya ga jantan.” Ketus Afri
“Yee,
siapa bilang gue betina?” balas Awan tak
mau kalah.
“Udah,
daripada ribet mending pake surat aja” sambung emak Awan yang tiba –tiba muncul
dari pintu.
“Surat?
emang sekarang zaman kerajaan Majapahit Mak? Yang modern donk biar ga dibilang
kampungan.” Ujar Awan masih diiringi gerakkan tangannya yang ga mau diam.
“Eh
Wan, gini-gini Emak lebih banyak tau. Kita bisa leluasa menuangkan isi hati
kita melalui tulisan dalam surat. Kita bisa mengurangi rasa gugup kita ketika
ingin menyatakan perasaan pada seseorang melalui surat tanpa harus bertatap
muka. Melalui tulisan, kita juga bisa meluluhkan perasaan wanita dengan bius
kata-kata cinta. Selain itu, surat juga hemat dan praktis.”
Perkataan
emak membuat Awan melongo. Tak disangka, Emaknya yang suka ngomong pakai bahasa bebek yang cas cis cus ternyata
bisa mengucapkan bahasa Indonesia yang sarat dengan sastra.
“Iya,
iya. Surat akan Awan jadiin sebagai alternatif paling akhir dari yang
terakhir.” Celutuk Awan.
Hari
Minggu pukul 07.00 pagi. Rombongan pecinta alam sudah stand by dengan perlangkapan
masing-masing. Tampak Si Awan tengah meliuk-liukkan badannya ke kiri dan kanan sambil ngitung angka sampai tiga doang.
Sebenarnya, Awan sendiri bukan anggota
pecinta alam, tapi karena dia ngotot ditambah lagi pembina eskul PA
adalah pamanya, sehingga dengan mudah Awan mendapat lampu hijau untuk ikut serta
dalam kegiatan penjelajahan hutan pinus itu. Pukul 08.00 pagi, rombongan udah
mulai melakukan perjalanan. Tampak di barisan itu sosok Awan dengan memakai
jaket bergambar angry birds berjalan di samping Lily.
“Ly,
kata pamanku tadi kita disuruh berpasangan untuk mencari pohon besar yang bisa
dipanjat. Aku sama kamu ya?” pinta Awan dengan sepoles senyuman penuh harap.
“Emm,
boleh. Tapi apa kamu bisa manjat pohon?” tanya Lily setengah yakin.
“Oh,
kemampuanku jangan diragukan lagi. Waktu kecil dulu aku seneng banget manjat
batang pohon. Dari batang nangka, batang mangga, batang jambu sampai batang
jemuran Emak juga pernah gue panjat. Yang pasti, asal sama Lily everything will be ok.” Awan mulai
mengeluarkan jurus gombal semester satunya. Liliy hanya menanggapi dengan
senyuman.
Dengan
pedenya matahari pagi itu mengumbar-umbar sinar dan panasnya ke belahan bumi
sebelah timur. Sudah satu jam lebih Awan berjalan menjelajah hutan pinus, rasa
penat pun mulai melorotin semangatnya. Tapi, pantang bagi Awan untuk mengeluh
apalagi hanya sekedar mengatakan cape dengan berbisik karena sekarang ia tengah
berjalan dengan sosok bidadari dihatinya, Lily. Ketika rasa letih dan bosan
sudah membludak di hati Awan, akhirnya Lily pun menghentikan langkah di depan
sebuah pohon yang tinggi dan berbatang besar.
“
Gimana pendapat kamu Wan tentang pohon ini?”
Awan
bergidik melihat ukuran pohon yang ternyata jauh dari bayangannya.
“Emm,
yakin ini pohon yang mau dipanjat?”
“Mau
cari yang lain?” Liliy balik bertanya.
Tawaran
liliy membuat Awan berfikir sejenak. Jika dia tidak memilih pohon itu, maka
perjalanan panjang bin melelahkan akan dilakoninya lagi. Namun, jika ia
memutuskan pohon itu untuk dipanjat, maka tak ada garansi kalau ia bakal pulang
dengan wajah masih utuh. Sebenarnya yang dikatakan Awan mengenai kemampuannya
memanjat hanya sebatas pohon mangga tumbuh subur di gurun alias bohong belaka.
Dengan mengucapkan basmallah, istigfar sepuluh kali dan tak lupa sholawat dan
salam Awan pun mengangguk setuju.
Selang
beberapa waktu kemudian, Awan dan Liliy sudah berada di atas pohon. Lily
terlihat begitu lihai menaiki batang demi batang pohon serta mampu menjaga
keseimbangannya. Sedangkan Awan berada jauh di bawah Lily dan masih sibuk
dengan rasa gugup dan ragu-ragu untuk menggerakkan kaki dan tangan.
“Wan,
kok dari tadi ga naik-naik sih?” tanya Liliy ketika melihat Awan yang masih
setia berdiri di batang pohon paling bawah.
“Eee,
tunggu Ly. Kalau mau manjat pohon yang tinggi aku harus melakukan perhitungan
yang tepat dulu, biar ga salah.” Awan berkilah.
“Ya
udah aku tungguin di sini.”
Mendengar
pernyataan Liliy untuk menunggu membuat Awan jadi merasa ga enak. Tiba-tiba ia
diingatkan akan tujuan awalnya untuk menyatakan cinta pada Liliy. Bagai
tercambuk pedang api, Awan pun mulai bergerak menuju ke batang pohon yang ada
di atasnya tanpa peduli berapa meter sudah ia jauh dari tanah. Dalam hitungan
detik kini sosoknya telah berdiri di dekat Liliy. Jantungnya terpacu dengan
cepat, keringat yang mengguyur tubuhnya karena cuaca panas kini telah berganti
dengan peluh dingin.
“Ayo cepat katakan, Wan. Jangan sia-siain
kesempatan langka ini. Mungkin jarang
atau bahkan ga ada orang yang melakukan sesi penembakan di atas pohon kaya Lo.”
Suara kecil di hati Awan mulai mengeluarkan komandonya.
“Emmm,
Ly.. aku..” Awan mulai berucap, namun terhenti ketika melihat mata indah Liliy
menatapnya.
“Pasti mau bilang kalau kamu seneng dengan pemandangan dari atas sini kan?”
potong Lily disertai seukir senyuman manis yang bikin jantung Awan berdisko ga
karuan.
“Oh,
iya.. anu Ly, sebenernya aku pengen ngomong sama kamu kalau aku..”
“Eh,
kira-kira sekarang kita ada di ketinggian berapa meter ya?”
Awan
menarik nafas panjang. Ia merasa Liliy sibuk sendiri dan tak menghiraukan perkataannya. Karena tak
tahan lagi dengan rasa sesak yang membludak ingin keluar dari dadanya, Awan pun
berteriak dengan keras..
“Ly,
aku cinnn....”
“10
meter ! wahh tinggi juga. “ teriak Liliy, berbarengan dengan suara Awan.
“Cinuapppaaa?
10 meter???” Awan tiba-tiba merubah haluan pembicaraannya. Dengan mulut yang
masih menganga karena rasa shock, ia
perlahan menggerakkan bola matanya ke arah bawah dan...’buukk’ terdengar suara
benda lunak jatuh menimpa tanah subur yang selalu setia berwarna cokelat.
* * *
Bau
menyengat dari terasi menari-nari di indera penciuman Awan. Hidungnya mulai
mengendus-endus bau yang membuat perutnya bergoyang gergaji itu.
“Wan,
Wan sadar nak. Ini emak.”
“Huekkk,,
bau apa ini Mak, ga enak banget.” Dengan spontan Awan bangun dari tempat tidur
sambil menutup hidungnya dengan bantal.
“Alhamdulillah,
tuh kan bener apa yang Afri bilang, Awan bakal sadar kalau nyium yang beginian.
Dia kan doyan Mak.”
“Doyan,
doyan, gue tu paling anti ama terasi yang baunya kaya kaos kaki lo itu tau”
Awan menimpuk Afri dengan bantalnya.
“Udah,
udah. Wan, gimana keadaan kamu? Ada yang
sakit ga? Emak kan udah ngingetin, ga usah ikut kegiatan Paman Ucup ngemanjat
pohon karena Mak takut phobia kamu sama ketinggian kambuh lagi.”
Mendengar
perkataan emak membuat Awan hening sejenak. Ia mencoba me-reply rekaman kejadian yang telah lalu. Tiba-tiba, aura wajah Awan
yang pas-pasan itu berubah menjadi lesu.
“Awan
gagal menyatakan perasaan sama Lily Mak.”
“Ga
usah sedih Wan, masih banyak cara untuk menyatakan perasaan sama Liliy. Caranya
emak udah dicoba belum?”
“Surat?”
Awan mengernyitkan alisnya dibalas
dengan anggukkan dari emak.
Awan
pun memutuskan untuk melakukan penembakan melalui surat walaupun fikirannya
kontra terhadap hal itu. Wajah Awan sudah terlanjur terpoles dengan rasa malu
yang amat sangat karena dirinya telah resmi menyandang gelar failed dalam rencana pernyataan cinta.
Singkat cerita, surat cinta Awan pun telah sampai ditangan Lily. Tik tok jarum jam terus berlalu, hingga
pada akhirnya surat yang mulanya berwarna pink ditangan Awan, kini telah
berganti menjadi warna putih. Ya, itu adalah surat balasan dari Lily. Entah
kenapa Liliy menggunakan amplop putih untuk membalas surat cinta darinya,
apakah ini pertanda bahwa cinta Awan harus angkat tangan terhadap takdir?
Jejeran tulisan yang diketik Lily tercetak rapi di atas kertas putih, tiba-tiba
jantung Awan berdegup kencang kala fikirannya mulai menyelami satu persatu
makna kata dalam surat itu.
Dear Awan yang manis dan lucu,
bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik saja.
Wan, maaf selama ini rasa maluku
telah menyusahkan hatimu. Rasa maluku yang membuatmu bersusah payah jatuh bangun
mengejarku. Namun, dengan rasa malu itu pulalah, aku dapat melihat kesungguhan hatimu.
Rasa maluku itu adalah rasa untuk mengakui bahwa aku juga menyukaimu. Aku telah
menyukai sosokmu yang kurasa berbeda dengan lelaki lainnya. Jujur, sangatlah
susah bagiku untuk menyatakan perasaan yang sangat menyesak ini padamu, semua
itu karena tertutup oleh kabut rasa malu dan tak percaya diriku. Namun setelah
menerima surat cinta darimu, aku seakan mendapat kekuatan untuk menyatkan
perasaan ini padamu, rasa yang telah lama menyemai benih kebahagaan dihatiku.
Semoga semua rasa dihati kita dapat terangkai dengan indah
~ Lily ~